Tue Mar 15 2022

Menguji Putusan Restitusi Perkara Herry Wirawan

Diunggah oleh admin

Menguji Putusan Restitusi Perkara Herry Wirawan

Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua LPSK

Co-Founder Public Virtue Institute

 

Pada 15 Februari lalu, Pengadilan Negeri Bandung memvonis Herry Wirawan (HW), pelaku persetubuhan anak dengan pidana seumur hidup. Selain itu membebankan restitusi kepada KemenPPPA (sesuai penghitungan LPSK), menetapkan barang bukti berupa 1 sepeda motor milik terdakwa dirampas untuk negara, dan membebankan biaya perkara kepada negara.

Vonis ini merupakan hukuman yang maksimal dalam hukum pidana dan memberi perhatian pada pemenuhan hak korban. Namun, putusan hakim membebankan KemenPPPA membayar restitusi mengundang polemik. Mengapa restitusi dibebankan kepada negara? Tepatkah putusan restitusi itu?

 

Ganti Kerugian Korban

Restitusi dalam undang-undang merupakan ganti kerugian kepada korban tindak pidana oleh pelaku. Sedangkan ganti kerugian yang dibayarkan negara disebut kompensasi. Sejauh ini hanya korban Pelanggaran HAM Berat dan Terorisme yang berdasarkan UU berhak mendapatkan Kompensasi. Dalam pelaksanaannya UU memerintahkan LPSK menilai kerugian dan membayarkan kompensasi kepada korban. Praktiknya sudah LPSK lakukan bagi korban Terorisme.

Karena itu pembebanan restitusi dalam putusan ini kepada KemenPPPA dinilai tidak tepat. Selain itu Peraturan Pemerintah 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban yang dirujuk dari putusan ini pun tidak mengenal pihak ketiga sebagai pembayar restitusi.

Putusan restitusi dalam perkara HW yang dibebankan kepada KemenPPPA seolah menempatkan negara sebagai pihak ketiga. Sepatutnya, pihak ketiga dimaknai sebagai orang atau badan hukum yang memiliki hubungan hukum dengan pelaku. Bila negara diposisikan sebagai pihak ketiga, pertanyaan yang muncul ialah, apakah negara memiliki kontribusi dari kejahatan yang dilakukan HW? Negara bukanlah pihak ketiga dalam perkara ini. Karena negara tidak ada hubungannya dengan perbuatan pidana pelaku. Di sinilah garis merahnya.

Jadi, sekalipun restitusi dan kompensasi merupakan ganti kerugian kepada korban, namun penanggung jawab masing-masingnya berbeda. Sama halnya celana dan baju adalah pakaian, namun pemakaiannya ada tempatnya yang tidak mungkin keliru.

Argumentasi hakim atas pembebanan restitusi kepada KemenPPPA dengan mengatakan tugas negara adalah melindungi dan menyejahterakan warga negaranya, adalah pernyataan yang benar. Namun hal itu tidak bisa hanya dilihat dalam konteks materiil pembayaran restitusi semata. Karena sejak awal kasus ini negara sudah hadir. Negara hadir kepada para korbannya melalui LPSK, dinas UPT PPA di tingkat Provinsi dan Kabupaten di Jawa Barat, dukungan dan bantuan dari Ibu Negara dan pihak-pihak lainnya.

Pihak ketiga haruslah pihak jelas hubungan hukumnya dengan pelaku, misal, yayasan dari pelaku. Contoh, pada kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Benjina, PT. Silversea (PT. Pusaka Benjina Raya, perusahaan di Indonesia) dibebankan membayar restitusi.

Dalam pembebanan restitusi kepada pihak ketiga, hakim dapat merujuk doktrin hukum vicarious liablity. Vicarious liablity merupakan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (Romli Atmasasmita). Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup  pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment).

Alasan hakim tidak membebankan restitusi karena hukuman sudah maksimal, dalam praktiknya bisa berbeda. Contoh, dalam Kasus Korupsi Jiwasraya, terdakwa Heru Hidayat divonis hukuman seumur hidup, tetapi juga dijatuhkan pidana tambahan yakni membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 10.728.783.375.000,00 (Putusan PN Jakarta Pusat No 30/Pid.Zsus-TPK/2020/PN Jkt.Pst.).

 

Alternatif Tersedia

Lalu jalan apa yang bisa ditempuh agar ganti kerugian korban ditunaikan? Terdapat beberapa alternatif untuk itu. Jaksa sudah mengajukan banding atas putusan PN tersebut. Pengadilan tingkat banding memiliki kewenangan melakukan koreksi atas putusan itu. Koreksi yang bisa dilakukan yakni, membebankan pelaku dan yayasan membayar restitusi. Sebagai mana sepeda motor pelaku yang disita dan dirampas negara karena dinilai sebagai sarana/alat kejahatan, yayasan yang dimiliki pelaku pun dapat dimaknai sebagai sarana kejahatan. Karena Yayasan tersebut pelaku dapat menjaring para korbannya untuk menempuh pendidikan di tempat itu.

Pilihan lain yang tersedia walau mendobrak ketentuan perundang-undangan yang ada, pengadilan banding dapat membebankan negara melalui LPSK membayar kompensasi, pengganti restitusi yang dibebankan kepada pelaku.

Hal tak bisa diabaikan, komitmen pelaku membayar restitusi sudah ditunjukkan ketika pemeriksaan di pengadilan. Terdakwa tanpa diminta menyatakan sanggup membayar restitusi korban. Komitmen pelaku ini dapat difasilitasi di dalam dan di luar mekanisme pidana, dengan syarat HW menyatakan secara tertulis komitmen ini dalam surat pernyataan yang sah secara hukum.

 

Tantangan Restitusi

Pemenuhan restitusi kepada korban tindak pidana sejauh ini memang masih memiliki tantangan. Tantangan itu antara lain, belum semua penyidik, penuntut umum dan hakim mengenal restitusi. Di sisi lain, korban dalam proses hukum, sering hanya ditempatkan sebagai objek pembuktian, dan tidak menjadi perhatian penegak hukum terkait pemenuhan hak-haknya. Undang-undang yang mengatur tentang restitusi juga masih terbatas, sekalipun dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur restitusi bagi korban tindak pidana, namun dalam praktiknya masih terdapat keengganan penegak hukum mengakomodasi restitusi dalam proses penyidikan dan penuntutan.

Normanya sejauh ini hanya UU Terorisme dan UU TPPO yang mengatur subsider kurungan bagi terdakwa yang tidak membayar restitusi. Pada TPPO ancaman subsider kurungannya yakni, 1 tahun penjara. Namun, putusan hakim rata-rata subsider kurungan di bawah 6 bulan. Hal ini seperti menstimulus pelaku tidak membayar restitusi. Menurut data restitusi LPSK 2021, dari Rp3.718.591.408,- restitusi yang diputus hakim untuk 59 korban, hanya Rp279.533.330,- setara 7, 5% yang dibayar pelaku, lainnya memilih tidak membayar.

 

Jaminan Hak Korban

Bila dalam perkembangannya restitusi yang tidak dibayar oleh pelaku akan dialihkan menjadi kompensasi. Ada baiknya kompensasi itu diakomodir dalam regulasi terkait hal ini (RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU KUHP), serta menambahkan pidana tambahan pelaku yang tidak membayar restitusi, yaitu tidak memperoleh hak-hak narapidana. Ketentuan pidana tambahan ini diharapkan akan menjadi daya paksa pelaku memenuhi kewajiban restitusi. Selain itu agar politik hukum pidana lebih memuliakan posisi korbannya.

Tak ada nilai materiil yang cukup untuk menggantikan kerugian korban, sesantun apa pun pemberinya. Namun, ganti rugi itu hanya wujud dari ekspresi korban tak cukup dipuaskan dengan pidana terhadap pelaku, sekalipun mati hukumannya. Di sisi lain pelaku tidak boleh merasa cukup menebus kejahatannya dengan jeruji penjara. Karena korban adalah manusia dengan ingatan abadi tentang suka dan dukanya.



(021) 29681560
lpsk_ri@lpsk.go.id