Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar Forum Komunikasi Publik (FKP) Rancangan Keputusan LPSK tentang Program Bantuan Rehabilitasi Psikososial pada Selasa (26/10/2024).
Forum Komunikasi Publik ini ingin menghasilkan Layanan Psikososial yang efektif dan efisien tepat sasaran dan dirasakan manfaatnya oleh Terlindung. Untuk itu, perlu disusun regulasi di lingkungan LPSK yang mengatur tentang Tata Cara Pemeriksaan Permohonan dan Pemberian Program Bantuan Rehabilitasi Psikososial Kepada Korban Tindak Pidana.
Layanan Rehabilitasi Psikososial diatur dalam UU 31/2014 pasal 6 ayat (1) yang menyatakan, bantuan psikologis serta psikososial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual Korban. Sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar, antara lain LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup Korban.
Forum yang diadakan secara luring dan daring ini menghadirkan mitra LPSK yang selama ini membantu jalannya psikososial kepada para Terlindung. Mereka diantaranya, Yayasan YAPHI, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Sekber'65, YIIM, Dompet Dhuafa, Libu Perempuan, Kementerian Sosial dan lainnya.
Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati yang menjadi penanggung jawab Bantuan Rehabilitasi Psikososial menjelaskan, LPSK sedang menyusun kebijakan mulai dari permohonan hingga teknis pemberian Program Bantuan Rehabilitasi Psikososial dan kelanjutannya.
“Kebijakan ini akan lebih jelas, misalnya menentukan siapa yang bisa menerima bantuan rehabilitasi psikososial ini. Bukan hanya korban langsung tetapi juga korban tidak langsung seperti keluarga,” ungkap Suparyati.
Menurutnya, selama ini tantangan psikososial ialah soal monitoring. Bantuan yang diberikan masih belum diyakini targetnya sesuai sasaran dan sejauh mana pemanfaatannya untuk para penerima psikososial untuk bertahan hidup. Dalam kehidupan sehari-hari apakah bantuan psikososial ini bermanfaat secara berkesinambungan, itu menjadi harapan kami kedepannya
LPSK memiliki tim monitoring namun tidak sampai lebih jauh hanya memastikan di awal saat bantuan diberikan kepada penerima. Maka, diharapkan tantangan ini akan terpecahkan agar psikososial dapat ditinjau secara berkelanjutan agar terasa manfaatnya bagi seluruh keluarga korban.
Hasil dari diskusi dalam FKP ini mengidentifikasi beberapa masalah seperti penentuan korban yang dapat menerima bantuan psikososial yang masih belum memiliki pedoman umum dan sesuai dengan keputusan SMPL. Derajat korban yang dapat menerima bantuan rehabilitasi psikososial apakah memungkinkan sampai derajat ketiga atau cucu korban.
Maka, perlu adanya pembahasan lebih lanjut lagi soal konsep definisi korban yang dapat menerima program rehabilitasi sosial, serta parameter darurat dalam pemberian program psikososial.
Masalah lain belum terdapat Standar Pelayanan dan SOP, termasuk jangka waktu pelayanan, konsep koordinasi dengan pendamping korban yang disediakan untuk melengkapi regulasi Tata Cara Pemeriksaan Permohonan dan Pemberian Program Rehabilitasi Psikososial. Kedepannya juga diharapkan LPSK dapat memaksimalkan kerja sama dengan pihak ketiga untuk pemberian bantuan psikososial.
Maka, perlu dibuat penyusunan Standar Pelayanan dan SOP terkait pemeriksaan permohonan dan pemberian bantuan program psikososial. Terkait kerja sama dengan pihak ketiga, LPSK harus segera melakukan pendataan Kerjasama LPSK dengan pihak ketiga sebagai data rujukan pelaksanaan kerja sama pemberian bantuan psikososial.
Humas LPSK
penulis Ananda nararya