Bahas Jaminan Kesehatan Nasional untuk Korban Tindak Pidana RDP Komisi XIII DPR RI Bersama LPSK, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan
Revisi beberapa kebijakan yang terkait jaminan kesehatan menjadi prioritas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XIII DPR RI antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan pada Selasa (18/3/2025).
Isu perubahan peraturan terkait jaminan Kesehatan muncul setelah diskusi terkait korban tindak pidana yang kerap tidak ditanggung BPJS karena adanya pengaturan tentang pembatasan hak atas kesehatan berupa pembatasan terhadap jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJ, khususnya pelayanan kesehatan akibat tindak pidana sebagai pelayanan kesehatan yang tidak dijamin akibat tindak pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf (r) Perpres No. 82 Tahun 2018 yang telah diubah melalui Perpres No. 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan.
Ketentuan tersebut sesungguhnya telah diubah dengan penambahan frasa “yang telah dijamin melalui skema pendanaan lain yang dilaksanakan kementerian/lembaga yang dilaksanakan kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Penambahan frasa tersebut mengandung makna ketika korban tindak pidana yang merupakan peserta program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) belum dijamin layanan kesehatannya melalui skema pendanaan lain harus mendapat jaminan dari BPJS melalui program JKN.
Kebijakan lain yang Komisi XIII rekomendasikan untuk diubah yakni UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terkait dengan layanan kesehatan untuk saksi dan korban.
Ketua LPSK Achmadi mengatakan, seluruh pihak dapat mencermati peraturan yang berkaitan dengan jaminan kesehatan nasional karena itu berkaitan dengan HAM. “Hak atas kesehatan merupakan hak yang inklusif dan setiap orang berhak atas jaminan kesehatan nasional berdasarkan jaminan negara melalui BPJS,” ungkapnya.
Diharapkan Pasal 52 ayat 1 huruf r dalam Perpres 59 tahun 2024 dapat diimplementasikan untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat.
RDP ini juga membahas mekanisme Pernyataan Piutang Negara Telah Optimal (PPNTO) yang dapat digunakan untuk pembiayaan bantuan medis untuk saksi dan korban. Oleh karena itu, Komisi XIII mendorong LPSK dan Kementerian Kesehatan untuk mengajukan mekanisme tersebut sebagai landasan hukum untuk penghapusan atau membebaskan biaya perawatan rumah sakit terhadap korban tindak pidana.