Banjarbaru, 18 April 2025 — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima enam permohonan perlindungan dari keluarga korban dan saksi dalam kasus dugaan pembunuhan jurnalis perempuan asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan, oleh anggota TNI AL aktif. Permohonan mencakup pendampingan hukum, bantuan psikologis, hingga fasilitasi restitusi.
Tim LPSK yang dipimpin Wakil Ketua Sri Suparyati melakukan penjangkauan dan investigasi lapangan pada 17–18 April 2025. Langkah ini dilakukan secara proaktif untuk memastikan hak-hak saksi dan keluarga korban terpenuhi serta mendalami perkembangan proses hukum.
Korban, almarhumah JW (22), adalah jurnalis lokal yang juga tengah menyelesaikan tugas akhir kuliah. Ia ditemukan meninggal dunia di kawasan Gunung Kupang, Banjarbaru, pada akhir Maret 2025, tak lama setelah menyelesaikan program magang di BNN Banjarbaru.
Selama dua hari kunjungan, LPSK bertemu langsung dengan keluarga korban, sejumlah saksi, penyidik Polisi Militer, dan Oditur Militer. LPSK juga mengunjungi lokasi kejadian dan pihak-pihak terkait, termasuk perusahaan rental mobil yang kendaraannya digunakan oleh pelaku.
Kami hadir di Banjarbaru karena mendapat informasi awal dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dan media. Tujuan kami adalah menggali informasi langsung dari keluarga, saksi, dan aparat penegak hukum,” ujar Sri Suparyati.
Menurutnya, bentuk perlindungan yang dapat diberikan LPSK meliputi pendampingan dalam proses hukum, layanan pemulihan psikologis, serta fasilitasi pengajuan restitusi. Restitusi adalah ganti kerugian dari pelaku atau terpidana atau oleh pihak ketiga kepada ahli waris korban, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
Sri Suparyati menegaskan bahwa LPSK telah menyampaikan kepada keluarga korban bahwa mereka memiliki hak atas fasilitas restitusi sebagai bagian dari pemulihan atas kejahatan yang dialami. “Kami juga menyampaikan kepada keluarga korban, haknya berkaitan dengan fasilitasi restitusi. Karena memang restitusi itu bagian dari hak yang sudah termaktub di dalam undang-undang,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa LPSK telah menyampaikan teknis pengajuan restitusi kepada Oditur Militer dan mendorong agar permohonan tersebut menjadi bagian dari tuntutan hukum. “Kami minta supaya Oditur juga membuka diri untuk bisa kami sampaikan restitusi tersebut masuk ke dalam bagian dari perkara persidangan, dan untuk diputuskan oleh Majelis Hakim,” tegas Suparyati.
Restitusi, lanjutnya, adalah bentuk ganti rugi yang dapat diberikan oleh pelaku, terpidana, atau pihak ketiga. Selain itu, terhadap permohonan yang diajukan akan dibahas lebih lanjut dalam sidang internal LPSK. LPSK akan melakukan pendampingan selama proses persidangan kepada korban atau ahli waris dalam seluruh proses hukum. “Ketika ada persidangan nanti, saksi kami jemput, lalu kemudian kami fasilitasi pendampingan selama persidangan bersama kuasa hukum,” ujar Suparyati.
Proses hukum saat ini berada di bawah yurisdiksi peradilan militer. Oditur Militer menyatakan bahwa tersangka, seorang anggota TNI AL berusia 23 tahun, diduga melakukan pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP, dengan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup.
Dari hasil investigasi lapangan, LPSK juga menemukan indikasi adanya unsur Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diduga terjadi sebelum pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a dan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, yang dapat memperberat hukuman.
“Kami mendorong agar dugaan adanya kekerasan seksual juga diproses sesuai hukum yang berlaku. Jika ditemukan bukti baru, kami berharap penyidik dan aparat terkait bersedia membuka penyelidikan lanjutan,” tutur Sri Suparyati.
LPSK menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses hukum secara aktif serta memastikan hak-hak korban dan keluarganya dipenuhi secara adil. LPSK juga membuka ruang bagi siapa pun yang memiliki informasi atau bukti tambahan untuk turut memperkuat proses penegakan hukum.