Mon Nov 27 2023

LPSK Bersama Mahasiswa DIY Berkomitmen Cegah dan Hentikan Kekerasan Seksual di Kampus

Diunggah oleh admin

Yogyakarta - Diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dalam memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (HktPA) disambut antusias oleh 100 mahasiswa dari 20 perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

Tema yang diangkat dalam diskusi ini ialah mewujudkan kampus ramah perempuan dan anak. Sebelum berdiskusi, mereka juga melakukan penandatanganan komitmen dengan LPSK untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan kampus yang sering terjadi yaitu Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

 

Komitmen tersebut membuat para generasi muda ini semakin bersemangat dan diskusi pun berakhir dengan inisiasi untuk membuat forum lanjutan hingga grup WhatsApp. Mereka ingin terus terhubung dan dapat bersinergi mencegah dan menghilangkan kekerasan perempuan dan anak di lingkungan kampus mereka.

Mahasiswa yang hadir terdiri dari mereka yang menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) TPKS dan anggota dari beberapa organisasi kemahasiswaan. Adanya Satgas TPKS di beberapa perguruan tinggi merupakan hasil MOU antara LPSK dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentang perlindungan bagi saksi, korban, pelapor, saksi pelaku dan/atau ahli di bidang pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi.

 

Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo yang menjadi panelis pada diskusi ini mengungkapkan, Satgas TPKS yang sudah dibentuk di kampus harus berperan aktif dalam mencegah dan mendampingi korban TPKS karena secara psikologis korban membutuhkan dukungan apalagi dari teman sebaya.

“Satgas TPKS dapat berkordinasi dengan pihak berwajib termasuk LPSK karena korban maupun saksi kekerasan pada perempuan dan anak termasuk TPKS menjadi target LPSK untuk dilindungi. Mereka memiliki hak untuk mendapat perlindungan dan bantuan agar korban dam saksi berani mengungkapkan kejadian yang sebenarnya,” ungkapnya.

Berdasar data permohonan perlindungan ke LPSK tahun 2022, korban sebanyak 93 orang yang pelakunya keluarga atau lingkungan terdekat sedangkan korban dari pelaku kalangan pendidik berjumlah 63 korban.

Saat ini terlindung LPSK pada 2023 (semester III) dalam TPKS sebanyak 975 terlindung, Kekerasan terhadap Anak 47 Terlindung dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 28 terlindung. 

Khusus di wilayah hukum DIY, saat ini terdapat 97 orang Saksi dan Korban dalam perlindungan LPSK, yaitu 88 orang Saksi Korban TPKS, 7 orang Saksi Korban penganiayaan berat, dan 2 orang Saksi Korban KDRT.

Berbicara soal mewujudkan kampus ramah perempuan dan anak, Antonius berharap pada pihak kampus untuk tidak melakukan pembiaran. Salah satunya dengan membentuk Satgas TPKS kemudian pihak kampus berada di pihak korban. Sebab banyak kasus yang ditangani LPSK justru pelaku yang dibela oleh kampus.

 

“Miris melihat pelaku didampingi oleh penasehat hukum dari LBH kampus sedangkan korban tidak. Korban seharusnya yang didampingi terlebih dahulu, biasanya ini karena korban berada dalam relasi kuasa yang lebih lemah dibanding dengan terduga pelaku,” ungkap Antonius.

Dia berharap, pihak kampus ketika ada laporan dugaan TPKS mendampingi pihak korban terlebih dahulu. Asas praduga tak bersalah yang tetap harus dijunjung namun tetap diutamakan pendampingan pihak yang melapor sebagai korban apalagi kasus TPKS yang mampu mempengaruhi kesehatan mental pelapor.  

 

Selain pembiaran, pihak kampus juga terkadang menekan korban untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Alasan menjaga citra kampus menjadi faktor penyebab, padahal publik akan lebih simpati jika ada kasus TPKS di lingkungan kampus yang menjalani proses hukum dengan dukungan pihak kampus.

 

Senada dengan hal itu, panelis lain dalam diskusi tersebut yakni Arie Sudjito Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat Universitas Gajah Mada menyebut korban TPKS di lingkungan kampus harus didampingi dan didukung pihak perguruan tinggi. Sebab, berbeda dari tindak pidana lainnya, korban TPKS menyangkut identitas diri dan kehormatan oleh sebab itu harus ada pendampiangan serius.

“Tidak hanya konseling dan pelaporan namun juga harus ada pendampingan dan komitmen upaya pencegahan. LPSK dapat menjadi simbol nasional pelindung TPKS ditopang oleh pemerintah daerah juga kampus-kampus dengan satgas TPKS dan organisasi kampus yang harus mulai peduli mengenai isu ini,” jelas Arie.

 

Dia menegaskan sudah saatnya mahasiswa bukan hanya mengejar nilai indeks prestasi atau sibuk berorganisasi namun abai dengan TPKS yang kini banyak terjadi di lingkungan kampus. Inilah kesempatan membuat kampus lebih nyaman untuk para perempuan dan anak dengan lebih peduli dan mendukung korban TPKS untuk melapor.

Panelis lain yang ikut diskusi publik Mewujudkan Kampus Ramah Perempuan dan Anak ialah Erlina Hidayati Sumardi, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (P3AP2) DIY dan Y Sari Murti Widiastuti, Dekan Fakultas Hukum UNIKA Atmajaya Yogyakarta.

Mereka meminta para korban dan saksi untuk speak up dan jangan ragu untuk meminta pendampingan kepada dinas terkait dan LPSK. Para mahasiswa juga diminta untuk tanggap dengan perubahan psikologis teman mereka, mendukung untuk melakukan pelaporan dan menemani teman mereka jika menjadi korban TPKS. ***


(021) 29681560
lpsk_ri@lpsk.go.id